Sabtu, 08 Agustus 2009

VCT & PITC

VCT & PITC


1. Latar Belakang
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang sel CD4+ dan limfosit sehingga menyebabkan kerusakan sel tersebut, akibatnya adalah penurunan sistem kekebalan tubuh manusia. Acquired Immuno Deficiency Syndroms (AIDS) merupakan kumpulan dari penyakit-penyakit yang diakibatkan oleh virus HIV, bahkan bisa berujung pada kematian. Penyakit HIV&AIDS sampai saat ini belum bisa disembuhkan, tetapi terapi dari HIV&AIDS dapat membantu individu agar tetap mempertahankan imunitasnya. Virus ini dapat ditularkan melalui pemakaian jarum suntik tidak steril secara bergantian, donor darah, hubungan homoseksual maupun heteroseksual, seks dengan berganti-ganti pasangan. Semakin meningkatnya penyakit HIV&AIDS di seluruh Negara menyebabkan diperlukannya program-program khusus untk menahan laju penularannya.
Penyakit HIV&AIDS merupakan pandemi yang sedang dialami oleh seluruh negara. Peningkatan jumlah orang dengan HIV/ AIDS dari 36,6 juta orang pada tahun 2002 menjadi 39,4 juta orang pada tahun 2004. Pada tahun 2005 jumlah penduduk dunia yang terinfeksi HIV adalah 40,3 juta. Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur menjelaskan kepada media bahwa peningkatan jumlah penderita ini bukan hanya dari penderita HIV/AIDS yang baru, namun kebanyakan karena banyaknya Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) yang akhirnya ditemukan sebagai penderita. Layaknya fenomena gunung es, bahwa jumlah ODHA diperkirakan sebanyak 20.810 orang, namun yang telah dilaporkan hanya hanya sekitar 11%. Surabaya sebagai ibukota Jawa Timur menempati urutan pertama dengan jumlah kasus HIV/AIDS terbanyak yakni sebanyak 527 kasus AIDS, kemudian disusul dengan Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Pasuruan, Kota Malang, dan Kabupaten Malang.
Stigma masyarakat ini perlu di minimalisir karena dapat memojokkan ODHA. Memanusiakan ODHA merupakan salah satu cara meminimalisir perkembangan virus, karena dengan adanya dukungan dari masyarakat, ODHA pun akan melaksanakan pengobatan tanpa harus menghadapi tekanan malu terhadap umum. Salah satu jalan masuk seseorang untuk mengetahui status HIV adalah melalui konseling dan testing HIV, terdapat beberapa macam diantaranya adalah Voluntary Counselling and Testing (VCT) dan Provider-Initiated Testing and Counselling (PITC). Dua layanan tersebut diharapkan dapat meningkatkan pemahaman individu tentang status dan penyakit HIV&AIDS, dapat meminimalisir stigma dan diskriminasi ODHA, dan mengurangi laju penyebaran penyakit ini.
2. Voluntary Counselling and Testing (VCT)
2.1 Definisi
Voluntary Counselling and Testing atau yang lebih dikenal dengan VCT HIV & AIDS merupakan salah satu program yang dilaksanakan dalam upaya mencegah penyebaran penyakit HIV & AIDS. Voluntary Counselling and Testing (VCT) merupakan entry point untuk memberikan perawatan, dukungan dan pengobatan bagi ODHA. VCT juga merupakan salah satu model untuk memberikan informasi secara menyeluruh dan dukungan untuk merubah perilaku berisiko serta mencegah penularan HIV/AIDS. (Haruddin, dkk., 2007)
Voluntary Counselling and Testing (VCT) adalah suatu pembinaan dua arah atau dialog yang berlangsung tak terputus antara konselor dan kliennya dengan tujuan mencegah penularan. (Nursalam, 2007)
WHO menyatakan bahwa VCT atau CITC (Client-Initiated Testing and Counselling) merupakan pendekatan primer dalam konseling dan tes HIV & AIDS yang ditekankan pada pengkajian dan menejemen dari perilaku beresiko, memberikan pengetahuan tentang isu-isu dan informasi seperti keinginan dan implikasi untuk melakukan tes, dan strategi-strategi untuk mengurangi perilaku-perilaku beresiko dengan partisipasi klien secara aktif dating ke pelayanan kesehatan secara sukarela. Konseling dilakukan sebelum dan sesudah dilakukan tes untuk mendiagnosa HIV & AIDS, jika didapatkan hasil tes positif maka konseling akan mengarah pada perawatan, terapi dan pelayanan pendukung lainnya.
2.2 Tujuan Voluntary Counselling and Testing (VCT)
Voluntary Counselling and Testing (VCT) berperan dalam memberikan dukungan moral, informasi serta dukungan lainnya kepada ODHA, keluarga dan lingkungan. Menurut Nursalam (2007), VCT mempunyai tujuan sebagai,
a. Upaya pencegahan HIV & AIDS
b. Upaya untuk mengurangi kegelisahan, meningkatkan persepsi/pengetahuan tentang factor-faktor resiko penyebab seseorang terinfeksi HIV & AIDS.
c. Upaya pengembangan perubahan perilaku, sehingga secara dini mengarahkan mereka menuju ke program pelayanan dan dukungan termasuk akses terapi antiretroviral (ART), serta membantu mengurangi stigma dalam masyarakat.
2.3 Model Pelayanan Voluntary Counselling and Testing (VCT)
Model pelayanan VCT adalah klien mencari pelayanan konseling dan tes HIV & AIDS, dimana klien akan menerima beberapa pelayanan yaitu,
a. Konseling sebelum tes (Pre-Test Counselling),
b. Persetujuan untuk tes HIV & AIDS (Informed Consent),
c. Tes HIV & AIDS (Testing),
d. Konseling pasca tes dengan pembacaan hasil tes (receive HIV test results during a post-test counseling). (WHO, 2006)
Prinsip-prinsip dari pelaksanaan pelayanan VCT digunakanan untuk menjaga hak-hak dari individu yang mengikuti VCT, prinsip-prinsip VCT adalah sebagai berikut,
Voluntary Pengetuahuan terhadap status HIV harus secara sukarela. Keputusan untuk menjalani tes adalah berdasarkan keputusan klien.
Confidential Informasi yang diberikan selama konseling tidak boleh diberitahukan kepada orang lain (bersifat rahasia). Hasil tes HIV hanya diberitahukan kepada klien, kecuali klien memperbolehkan orang lain (anggota keluarga, pasangan atau teman dekat) mengetahui hasil tes.
Counselling Pre-test konseling memberikan kesempatan pada klien untuk mengeksplorasi resiko klien terhadap HIV dan bagaimana menguranginya, dan membantu klien untuk memutuskan untuk mengikuti tes HIV atau tidak. Konseling harus ditawarkan kepada setiap klien sebagai pertimbangan klien untuk mengikuti tes HIV.
Klien yang setuju melakukan tes akan mendapatkan hasil tes HIV pada post-test konseling. Konseling yang diberikan harus memiliki kualitas yang tinggi.
Testing Diagnosa HIV dilihat pada adanya antibodi HIV pada darah, saliva dan urin. Hasil positif dipastikan dengan beberapa tes tambahan.
Informed Consent Klien setuju untuk mengikuti tes HIV dengan memberikan persetujuan.
Privacy Lingkungan fisik harus mendukung berjalannya konseling secara pribadi antara konselor dan klien. Penyelenggara kesehatan harus menjaga data-data pribadi klien.
Refferal Klien harus mendapatkan akses untuk pelayanan pencegahan, perawatan dan pelayanan pendukung yang tersedia. Pelayanan referral harus dilaksanakan dengan menghormati kerahasiaan klien.
Counsellor Karakteristik konselor terdiri dari tidak menghakimi, empati, mengormati dan mendukung. Staf yang melakukan konseling harus dilatih sesuai dengan teknik konseling HIV.
Equality HIV positif seharusnya tidak didiskriminasi.
Adherence Pelayanan harus mengacu pada protocol lokal atau nasional, hokum dan peraturan pemerintah terkait dengan pelayanan HIV.
Monitoring & Evaluation Konseling dan tes HIV harus dimonitor dan dievalusi, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, untuk memastikan pelayanan pada kualitas yang tinggi.
2.4 Proses dan Mekanisme Voluntary Counselling and Testing (VCT)
2.4.1 Pre-Test Konseling
Sesi Pre-Test Konseling ini akan membahas tentang informasi dan pengkajian terhadap resiko HIV & AIDS dengan fokus utama pada konseling pencegahan terhdapa reaksi klien sebelum dan sesudah klien mengetahui hasil tes. (WHO, 2007)
Konseling Pre-Test ini bertujuan untuk memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil betul telah dipahami dan sukarela, menyiapkan klien akan penerimaan apapun hasil tes, negatif-positif-indeterminan, kemudian memberikan informasi untuk mengurangi resiko dan strategi menghadapi tes, memberikan pilihan untuk PMTCT dan menyediakan pintu masuk untuk terapi dan perawatan. Adapun sumber lain menyebutkan tujuan klien melakukan pre-test konseling adalah,
a. Klien memahami benar kegunaan tes HIV&AIDS,
b. Klien dapat menilai resiko dan mengerti persoalan dirinya,
c. Klien dapat menurunkan rasa kecemasannya,
d. Klien dapat membuat rencana penyesuaian diri dalam kehidupannya,
e. Klien memilih dan memahami apakah aakan melakukan tes darah HIV&AIDS. (Nursalam, 2007)
Pra-test konseling juga disebut konseling pencegahan AIDS. Dua hal yang penting dalam konseling ini, yaitu aplikasi perilaku klien yang menyebabkan klien dapat berisiko tinggi terinfeksi HIV&AIDS dan apakah klien mengetahui tentang HIV&AIDS dengan benar. Hal yang perlu ditanyakan oleh konselor yaitu ada tidaknya sumber dukungan moral dalam hidup klien yang dapat membantu ketika menunggu hasil tes sampai hasil diagnosa keluar (baik jasil tes positif ataupun negative). Masa ketika menunggu hasil tes adalah masa yang paling berat bagi klien. Saaat itu, jika tidak ada seorangpun sebagai pendukung moral makan konselor diharapkan dapat bertindak sebagai keluarga klien. Ada lima prinsip praktis yang biasa dilakukan saat pra-test konseling yaitu,
a. Motif dari klien
Klien yang secara sukarela (voluntary) dan secara paksa (compulsory) mempunyai perasaan yang berbeda dalam menghadapi segala kemungkinan, baik pra-tes ataupun post-tes.
b. Intepretasi hasil pemeriksaan
1. Uji saring atau skrining dan tes konfirmasi,
2. Asimtomatik atau gejala nyata (Full Blown Symptom)
3. tidak dapat disembuhkan (HIV) tetapi masih dapat diobati (infeksi sekunder).
c. Estimasi hasil
Pengkajian resiko bukan hasil yang diharapkan dan masa jendela.
d. Rencana ketika hasil diperoleh
Apa yang akan dilakukan oleh klien ketika telah mengetahu hasil pemeriksaan baik positif maupun negative.
e. Pembuatan keputusan
Klien dapat memutuskan untuk bersedia atau tidak diambil darahnya guna melakukan pemeriksaan HIV. (Nursalam, 2007)
2.4.2 Tes HIV
HIV&AIDS termasuk jajaran penyakit yang mempunyai tingkat penularan yang sangat tinggi. Hal ini terjadi karena seringkali seseorang tidak menyadari bahwa dirinya telah terinfeksi HIV, sehingga menjadi sumber penularan bagi orang lain. Seseorang terkena HIV biasanya diketahui jika telah terjadi Sindrom Defisiensi Imun Dapatan (AIDS) yang ditandai antara lain penurunan berat badan, diare berkepanjangan, Sarkoma Kaposi, dan beberapa gejala lainnya. Berkembangnya teknologi pemeriksaan saat ini mengijinkan kita untuk mendeteksi HIV lebih dini. Beberapa pemeriksaan tersebut antara lain adalah :
a. ELISA
ELISA (Enzym-Linked Immunosorbent Assay), tes ini mendeteksi antibodi yang dibuat tubuh terhadap virus HIV. Antibodi tersebut biasanya diproduksi mulai minggu ke 2, atau bahkan setelah minggu ke 12 setelah terpapar virus HIV. Kerena alasan inilah maka para ahli menganjurkan pemeriksaan ELISA dilakukan setelah minggu ke 12 sesudah melakukan aktivitas seksual berisiko tinggi atau tertusuk jarum suntik yang terkontaminasi.
Tes ELISA dapat dilakukan dengan sampel darah vena, air liur, atau air kencing.
Saat ini telah tersedia Tes HIV Cepat (Rapid HIV Test). Pemeriksaan ini sangat mirip dengan ELISA. Ada dua macam cara yaitu menggunakan sampel darah jari dan air liur.
Hasil positif pada ELISA belum memastikan bahwa orang yang diperiksa telah terinfeksi HIV. Masih diperlukan pemeriksaan lain, yaitu Western Blot atau IFA, untuk mengkonfirmasi hasil pemeriksaan ELISA ini. Jadi walaupun ELISA menunjukkan hasil positif, masih ada dua kemungkinan, orang tersebut sebenarnya tidak terinfeksi HIV atau betul-betul telah terinfeksi HIV.
b. Western Blot
Sama halnya dengan ELISA, Western Blot juga mendeteksi antibodi terhadap HIV. Western blot menjadi tes konfirmasi bagi ELISA karena pemeriksaan ini lebih sensitif dan lebih spesifik, sehingga kasus ”yang tidak dapat disimpulkan” sangat kecil. Walaupun demikian, pemeriksaan ini lebih sulit dan butuh keahlian lebih dalam melakukannya.
c. IFA
IFA atau indirect fluorescent antibody juga meurupakan pemeriksaan konfirmasi ELISA positif. Seperti halnya dua pemeriksaan diatas, IFA juga mendeteksi antibodi terhadap HIV. Salah satu kekurangan dari pemeriksaan ini adalah biayanya sangat mahal.
d. Rapid Test
Rapid test menggunakan enzim immunoassay untuk mendeteksi dan membedakan antibody HIV-1 dan HIV-2 dalam serum dan plasma. Saat ini teknik yang umum digunakan untuk deteksi antibodi adalah Elisa dan Rapid test dan paling banyak digunakan adalah Rapid test. Teknis pemeriksaan Rapid test adalah yang paling efisien dan banyak digunakan oleh para klinisi.
e. PCR Test
PCR atau polymerase chain reaction adalah uji yang memeriksa langsung keberadaan virus HIV di dalam darah. Tes ini dapat dilakukan lebih cepat yaitu sekitar seminggu setelah terpapar virus HIV. Tes ini sangat mahal dan memerlukan alat yang canggih. Oleh karena itu, biasanya hanya dilakukan jika uji antibodi diatas tidak memberikan hasil yang pasti. Selain itu, PCR test juga dilakukan secara rutin untuk uji penapisan (screening test) darah atau organ yang akan didonorkan.
Hal yang perlu diingat terhadap pemeriksaan darah pasien tidakh hannya dilakukan satu kali, namun menggunakan 3 metode pemeriksaan yang berbeda dengan tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang berbeda. Misal, jika didapatkan tes ELISA atau EIA positif maka harus dilakukan konfirmasi dengan metode lain yaitu Western Blot , yaitu suatu pemeriksaan yang memiliki spesifisitas sangat tinggi. Terdapat beberapa kemungkinan hasil yang akan didapatkan dari tes tersebut adalah,
a. Hasil positif dilaporkan setelah konfirmasi dengan pemeriksaan menggunakan metode Western Blot menunjukkan hasil positif.
b. Hasil negative setelah dilakukan tes konfimasi tetap negatif,
c. Bila hasil tes meragukan atau indeterminate (dapat terjadi pada stadium awal dari serokonversi) maka diambil sampel darah kedua pada 2 minggu (14 hari) kemuadian dan diperikasa kemabali. lebih baik lagi bila dilakukan pemeriksaan Western Blot. Jika hasil tetap meragukan maka dilakukan pemeriksaan serial setiap 3 bulan selama sedikitnya 6 bulan atau sampai dengan 12 bulan. Jika hasil tes tetap meragukan dan keadaan memungkinkan maka dapat dilakukan pemerikasaan PCR.
2.4.3 Post-Test Konseling
Post-tes konseling adalah bagian integral dari komponen proses tes HIV. Semua individu yang akan melakukan tes HIV harus dikonseling ketika tes diberikan, dengan tanpa melihat hasil tes. Hasil tes seharusnya diberikan kepada klien secara personal oleh pemberi pelayanan. Idealnya, post-test konseling seharusnya dilakukan dengan konselor yang sama saat pre-test konseling dan tes HIV dilakukan. Hasil seharusnya tidak diberikan dalam kelompok. Meskipun klien dapat menolak untuk menerima hasil dari tes, konselor seharusnya dapat memberikan alasan yang tepat untuk meyakinkan klien dapat menerima dan mengerti hasil tes secara rahasia dan dengan rasa simpati.(WHO, 2007)
Konseling Pasca-Test bertujuan untuk menyiapkan klien untuk dapat menerima hasil, membantu klien memahami dan menyesuaikan diri akan hasil tes, menyediakan informasi lebih lanjut, jika dimungkinkan, lantas merujuk kepada layanan lainnya ketika diperlukan dan mendiskusikan kepada klien strategi pengurangan penularan HIV.
Konselor juga hendaknya harus waspada terhadap respon klien saat pembacaan hasil tes. Ada dua kemungkinan hasil intepretasi hasil tes yang akan mempengaruhi kondisi psikologis klien yaitu,
a. Hasil tes negatif
Konseling yang diperlukan untuk individu dengan hasil tes HIV negatif adalah informasi tentang,
1. Penjelasan tentang hasil tes, termasuk informasi tentang periode jendela untuk terbentuknya HIV-antibodi dan merekomendasikan untuk tes ulang untuk memastikan,
2. Metode dasar untuk mencegah transmisi HIV,
3. Menyarankan menggunakan kondom pria dan wanita serta cara penggungaannya,
b. Hasil tes positif
Fokus dari post-test konseling pada klien dengan hasil tes HIV-positif adalah dukungan psikososial untuk mengatasi dampak emosional dari hasil tes, fasilitasi akses terapi, perawatan dan pelayanan pencaegahan, pencegahan transmisi dan pengakuan pasangan seksual dan pemakaian narkoba. Konselor hendaknya memberitahukan tentang:
1. Memberitahukan hasil tes kepada klien dengan singkat dan jelas, dan memberikan waktu pada pasien untuk memperimbangkannya,
2. Memastikan bahwa klien mengerti hasil tes,
3. Mengijinkan klien untuk mengajukan pertanyaan,
4. Membantu klien untuk mengatasi emosi yang timbul setelah mengetahui hasil tes,
5. Diskusikan setiap pendapat klien terhadap perannya di masyarakat,
6. Menggambarkan pelayanan lanjutan yang ada di fasilitas kesehatan dan di komunitas dengan fokus terapi yang ada, PMTCT dan perawatan serta pelayanan pendukung,
7. Berikan informasi yang relevan untuk mencegah virus HIV termasuk penggunaan kondom saat berhubungan,
8. Berikan informasi-informasi lain yang relevan untuk menjaga kesehatan, seperti nutrisi, konsumsi contrimoxazole dan lain-lain,
9. diskusikan kemungkinan memberitahukan hasil,
10. Dorong dan tawarkan untuk VCT pasangan dan anak,
11. Kaji resiko kekerasan atau upaya bunuh diri dan diskusikan kemungkinan untuk keselamatan fisik klien,
12. Rencanakan waktu dan tanggal yang spesifik untuk kunjungan lanjutan atau terapi referal , perawatan, konseling, dukungan dan pelayanan lain yang sesuai (misal, skrining dan terapi TB, profilaksis dari infeksi oportunistik, terapi Sexual Transmitted Infection (STI), KB, ANC, terapi pengganti subsitusi, dan akses terhadap jarum dan syringe yang steril.
3. Provider-Initiated Testing and Counselling (PITC)
3.1 Definisi
Fasilitas-fasilitas pelayanan kesehatan merupakan salah satu jalan dimana ODHA memerlukan pelayanan pencegahan, terapi dan dukungan. Hal tersebutlah yang mendasari terbentuknya Provider-Initiated Testing and Counselling (PITC) selain untuk menyempurnakan program lainnya, yaitu Client-Initiated Counselling and Testing (CICT) atau yang lebih dikenal sebagai VCT. PITC memberikan kesempatan individu untuk mengetahui status HIV secara sistematis di fasilitas pelayanan kesehatan dengan tujuan memfasilitasi klien untuk menggunakan akses yang dibutuhkan terkait dengan pencegahan, terapi, perawatan, dan pelayanan pendukung HIV. Keterlambatan seseorang didiagnosa terinfeksi HIV dikarenakan banyak orang tidak peduli terhadap status HIV masing-masing, dengan adanya program PITC ini diharapkan masyarakat lebih peduli tentang status HIV mereka dan mengurangi perilaku-perilaku beresiko yang dapat menyebabkan terinfeksi HIV.
Provider-Initiated Testing and Counselling (PITC) adalah konseling dan tes HIV yang disarankan oleh penyelenggara pelayanan kesehatan kepada seseorang yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan sebagai suatu komponen standard dari pelayanan medis. Seseorang yang datang ke pelayanan kesehatan dengan tanda dan gejala terinfeksi HIV, merupakan tanggung jawab penyelenggara pelayanan kesehatan untuk merekomendasikan kepada orang tersebut untuk melakukan tes dan konseling sebagai bagian dari standar rutin dari manajemen klinis, termasuk penyaranan konseling dan tes pada pasien TB dan seseorang yang dicurigai TB. PITC juga bertujuan untuk mengidentifikasi infeksi HIV terhadap klien yang tidak dikenali dan tidak dicurigai datang ke pelayanan kesehatan. Tes dan konseling HIV disarankan oleh penyelenggara pelayanan kesehatan sebagai bagian dari pelayanan yang diberikan kepada seluruh pasien selama interaksi-interaksi klinis yang dilakukan di pelayanan kesehatan. (WHO, 2007)


3.2 Implementasi PITC di Pelayanan Kesehatan
Provider-Initiated Testing and Counselling (PITC) sebaiknya diimplementasikan dengan memaksimalkan kesehatan dan kesejahteraan individu dengan penentuan waktu deteksi HIV yang tepat, pencegahan transmisi HIV, dan akses-akses fasilitas kesehatan terkait pencegahan, terapi, perawatan dan pelayanan pendukung HIV. Implementasi dari PITC harus meliputi pengukuran untuk mencegah tes yang dipaksakan, penyebaran status HIV tanpa ijin, dan kemungkinan hasil negatif lainnya terkait mengatahui status HIV seseorang. PITC harus disertai dengan satu paket pelayanan yang terdiri dari pencegahan, terapi, perawatan dan pelayanan pendukung yang ada pada tabel berikut,
1. Informasi Pre-tes kepada individu atau kelompok
2. Pelayanan pencegahan dasar untuk klien didiagnosa HIV-negatif
a. Konseling post-tes untuk individu atau pasangan yang berisi informasi pencegahan HIV
b. Promosi dan penjelesan penggunaan kondom pria dan wanita
c. Intervensi untuk mengurangi pengunaan IDU (Injecting Drug User)
d. Profilaksis setelah paparan,
3. Pelayanan pencegahan dasar untuk klien didiagnosa HIV-positif
a. Individual post-tes konseling oleh penyelenggara terlatih terdiri dari informasi tentang dan mengacu pada pencegahan, perawatan dan pelayanan terapi yang dibutuhkan
b. Mendukung untuk membuka status HI pada pasangan dan menyarankan konseling untuk pasangan
c. Konseling tentan seks aman dan penurunan perilaku beresiko dangan menggunakan kondom pria atau wanita
d. Intervensi untuk mengurangi pengunaan IDU (Injecting Drug User)
e. Intervensi untuk mencegah transmisi ibu ke anak pada wanita hamil (PMTCT) termasuk profilaksis ARV
f. Pelayanan kesehatan reproduksi
4. Perawatan dasar dan pelayanan pendukung untuk klien didiagnosa HIV-positif
a. Dukungan pendidikan, psikososial dan dukungan sebaya untuk manajemen HIV
b. Pengkajian klinis secara periodik dan stadium klinis
c. Manajemen dan terapi untuk infeksi oportunistik tersering
d. Profilaksis kontrimoxazole
e. Skrining TB dan terapi ketika terindikasi, terapi pencegahan ketika dibutuhkan
f. Pencegahan dan terapi Malaria ketika dibutuhkan
g. Manajemen kasus dan terapi STI (Sexual Transmitted Infection)
h. Perawatan paliatif dan manajemen gejala
i. Menyarankan dan mendukung intervensi, seperti minum air yang sehat
j. Peningkatan gizi, konseling pemberian makanan bayi
k. ART, ketika diperlukan
Sama dengan halnya model pelayanan VCT, PITC juga terdiri dari beberapa komponen untuk mendukung pelayanan pada program ini. Komponen PITC tersebut adalah,
a. Informasi-informasi pre-tes dan informed consent
PITC memberikan sesi pendidikan dan pengkajian resiko dengan fokus konseling pencegahan untuk klien sebelum dan sesudah menerima hasil tes. Informed consent seharusnya diberikan secara individual dan pribadi pada kehadiran klien di pelayanan kesehatan. Informasi minimum yang perlu klien ketahui sebelum informed consent adalah,
1. Alasan HIV konseling dan tes disarankan
2. Keuntungan klinis dan pencegahan tes dan potensial resiko, seperti diskriminasi, penelantaran dan kekerasan
3. Pelayanan yang tersedia dengan hasil tes negativ atau positif HIV, termasuk ART
4. Fakta tentang perlakuan hasil tes HIV akan diperlakukan secara rahasia dan tidak akan diberitahukan kepada orang lain
5. Fakta bahwa pasien berhak menerima atau menolak konseling dan tes HIV
6. Kesempatan klien untuk bertanya kepada penyelenggara pelayanan
b. Post-tes konseling
Isi dan inti dari post-test konseling dari PITC sama dengan post-test konseling pada VCT, yaitu penyampaian hasil test dan informasi yang dibutuhkan setelah mengetahui hasil tes.
c. Petunjuk pelayanan HIV yang lain
Hasil tes HIV harus disampaikan dengan penjelesan-penjelasan tentang pencegahan, terapi, pelayanan, dan pelayanan pendukung yang diperlukan oleh klien. Petunjuknya tediri dari informasi siapa dan kapan yang akan dihubungi, dan bagaimana cara menghubungi.
d. Frekwensi tes yang dilakukan
Tes ulang setiap 6-12 bulan lebih diperlukan untuk individu yang terpapar HIV dengan resiko tinggi, seperti individu dengan riwayat STI, PSK dan kliennya, seks pada pasangan homo, IDU (injection drug user), dan pasangan hidup dengan HIV. Hal yang perlu diingat bahwa tes HIV rutin tidak menjadi subsitusi untuk pencegehan perilaku beresiko. Penyelenggara pelayanan kesehatan seharusnya menekankan pada klien untuk tetap mempertahankan perilaku yang aman.
4. Efektifitas Program VCT dan PITC Terhadap Penyebaran HIV & AIDS
Voluntary Counselling and Testing (VCT) memiliki fungsi sebagai perangkat kesehatan mayarakat yang efektif. Model standard dari VCT secara keseluruhan terdiri dari pencegahan dengan penekanan terhadap kerahasiaan dan kesediaan individual dalam mengambil keputusan, termasuk melindungi keputusan individu untuk tidak melakukan tes atau mendengar hasil tes. Konseling VCT meliputi dialog antara konselor dan klien dengan penekanan terhadap perilaku yang aman, dukungan terhadapa adanya perubahan perilaku dan menjadi netral dalam menghargai keputusan klien untuk melaksanakan tes, karena ini merupakan keputusan klien yang mandiri dan tanpa paksaan dalam menjalani tes HIV. Pandangan publik secara perspektif menunjukkan bahwa pelayanan VCT semakin mempermudah individu untuk melakukan pencegahan dan mendapatkan perawatan HIV.
Model dari VCT memperlihatkan keefektifannya dalam meningkatkan pengertian terhadap resiko, penyelenggaraan lingkungan yang mendukung bagi seseorang yang baru mengetahu status HIV, menunjukkan perubahan perilaku sebagai langkah pencegahan, dan meningkatkan akses terhadap layanan pendukung. Ketika VCT diimplementasikan secara luas dalam lingkup mobilisasi komunitas, maka VCT akan membantu untuk membukan epidemik HIV, penurunan penolakan, stigma dan diskriminasi, meningkatkan kesempatan konseling untuk pasangan dan respon dukungan yang sangat besar.
VCT tidak dapat diimplementasikan pada skala besar dalam komunitas dan negara yang memiliki pendapatan rendah. Salah satu alasan bahwa VCT mahal dan sulit diimplementasikan dikarenakan VCT memerlukan infrastruktur substansial, waktu dan staf yang terlatih. Alasan lainnya adalah fakta ketika seseorang tidak ingin memeriksakan status HIV-nya. (WHO: 2002, Increasing Access of HIV Counselling and Testing)
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mendesak pemerintah lebih menerapkan pola provider initiated testing and counseling (PITC) dalam strategi penemuan kasus orang yang terpapar HIV/AIDS di Indonesia. Pola baru itu harus diterapkan lantaran tingkat penemuan kasus orang terkena HIV/AIDS di Indonesia masih rendah. Berdasarkan estimasi, terdapat 270 ribu orang terpapar HIV/AIDS di Indonesia. Namun, hanya sekitar 27 ribu atau 10% penderita yang bisa ditemukan. Dari jumlah itu, hanya 13 ribu di antaranya yang mendapat pengobatan.
Ketua Bidang Penanggulangan Penyakit Menular PB IDI Pandu Riono memaparkan, pola voluntary counseling test (VCT), yang dijadikan ujung tombak dalam tingkat penemuan kasus penderita HIV, dinilai sudah usang dan tidak lagi efektif. Alasannya, lewat mekanisme VCT, provider kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas, dan tenaga medis lebih bersifat pasif. Pola semacam itu hanya mengimbau masyarakat secara sukarela untuk memeriksakan diri ke rumah sakit, dan bersedia menjalani tes dan konsultasi. Sebaliknya dalam mekanisme PITC, peran provider kesehatan lebih efektif. Dokter berperan aktif untuk melihat pasien bersangkutan memiliki gejala penyakit HIV, dengan melihat faktor risiko tinggi terpapar HIV. Atas dasar itu dokter berhak memberi rujukan agar pasien melakukan pemeriksaan lanjutan di laboratorium atau klinik HIV. Oleh karena itu, laju penyebaran HIV lebih mudah diketahui dengan menggunakan PITC daripada VCT.

















DAFTAR PUSTAKA

Atom. 2009. Jenis-jenis Pemeriksaan HIV. Akses internet di http://www.wartamedika.com/2008/06/jenis-jenis-pemeriksaan-hivaids.html, 1 Agustus 2009.

Farmasia. 2007. Diagnosis Laboratorik Infeksi HIV. Akses internet di http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=418, 3 Agustus 2009.

Handoko, Rudi. 2007. HIV/AIDS Semakin Menakutkan?. Akses internet di http://kingroodee.blogspot.com/2007/08/hiv-aids-semakin-menakutkan.html, 1 Agustus 2009.

Lempu. 2008. Cegah HIV dengan Strategi Baru. Akses internet di http://lempu.co.cc/index.php/Berita-Kesehatan/Cegah-HIV-dengan-Strategi-Baru.html, 2 Agustus 2009.

Nursalam & Ninuk. 2007. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta : Salemba Medika.

Sulianti. 2007. Pemeriksaan Diagnostik HIV/AIDS. Akses internet di http://www.aids-rspiss.com/articles.php?lng=in&pg=305, 1 Agustus 2009.

WHO. 2009. Guidance On Testing and Counselling For HIV In Settings Attended By People Who Inject Drugs. Akses Internet di http://www.wpro.who.int/NR/rdonlyres/D243AA59-5C7A-4C0D-AF55-4276E8DB62C7/0/GuidanceonTCinIDUsettings.pdf, 24 Juli 2009.

WHO. 2007. Guidance On Provider-Initiated HIV Testing and Counseling In Health Facilities. Akses internet di http://aids-ina.org/modules.php?name=BookCatalog&op=showbook&bid=40, 26 Juli 2009.

WHO. 2007. Integrating HIV Voluntary Counselling and Testing Services Into Reproductive Health Setting. Akses internet di http://www.who.int/entity/hiv/pub/vct/pitc/en/index.html, 24 Juli 2009.

WHO. 2009. Priority Interventions, HIV/AIDS Prevention, Treatment, and Care In Health Sector. Akses internet di http://www.who.int/entity/hiv/pub/priority_interventions_web.pdf, 26 Juli 2009.

WHO. 2009. Terminology Between HIV Counselling and Testing. http://www.who.int/hiv/topics/vct/toolkit/introduction/en/index1.html, 26 Juli 2009.

Jumat, 24 Juli 2009

Asuhan Keperawatan Sepsis Neonatorum

SEPSIS NEONATORUM


BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 DEFINISI

Sepsis neonatorum adalah infeksi bakteri pada aliran darah pada bayi selama empat minggu pertama kehidupan. Insiden sepsis bervariasi yaitu antara 1 dalam 500 atau 1 dalam 600 kelahiran hidup (Bobak, 2005).

Sepsis adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan respons sistemik terhadap infeksi pada bayi baru lahir (Behrman, 2000). Sepsis adalah sindrom yang dikarekteristikkan oleh tanda-tanda klinis dan gejala-gejala infeksi yang parah yang dapat berkembang kearah septikemia dan syok septik (Dongoes, 2000)

Sepsis neonatorum adalah semua infeksi pada bayi pada 28 hari pertama sejak dilahirkan. Infeksi dapat menyebar secara nenyeluruh atau terlokasi hanya pada satu orga saja (seperti paru-paru dengan pneumonia). Infeksi pada sepsis bisa didapatkan pada saat sebelum persalinan (intrauterine sepsis) atau setelah persalinan (extrauterine sepsis) dan dapat disebabkan karena virus (herpes, rubella), bakteri (streptococcus B), dan fungi atau jamur (candida) meskipun jarang ditemui. (John Mersch, MD, FAAP, 2009). Sepsis dapat dibagi menjadi dua yaitu,

1. Sepsis dini :terjadi 7 hari pertama kehidupan. Karakteristik : sumber organisme pada saluran genital ibu dan atau cairan amnion, biasanya fulminan dengan angka mortalitas tinggi.

2. Sepsis lanjutan/nosokomial : terjadi setelah minggu pertama kehidupan dan didapat dari lingkungan pasca lahir. Karakteristik : Didapat dari kontak langsung atau tak langsung dengan organisme yang ditemukan dari lingkungan tempat perawatan bayi, sering mengalami komplikasi. (Vietha, 2008)

1.2 ETIOLOGI

Bakteria seperti Escherichia coli, Listeria monocytogenes, Neisseria meningitidis, Sterptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae tipe B, Salmonella, dan Streptococcus grup B merupakan penyebab paling sering terjadinya sepsis pada bayi berusia sampai dengan 3 bulan. Streptococcus grup B merupakan penyebab sepsis paling sering pada neonatus.

Pada berbagai kasus sepsis neonatorum, organisme memasuki tubuh bayi melalui ibu selama kehamilan atau proses kelahiran. Beberapa komplikasi kehamilan yang dapat meningkatkan resiko terjadinya sepsis pada neonatus, antara lain:

a. Perdarahan

b. Demam yang terjadi pada ibu

c. Infeksi pada uterus atau plasenta

d. Ketuban pecah dini (sebelum 37 minggu kehamilan)

e. Ketuban pecah terlalu cepat saat melahirkan (18 jam atau lebih sebelum melahirkan)

f. Proses kelahiran yang lama dan sulit.

g. Streptococcus grup B dapat masuk ke dalam tubuh bayi selama proses kelahiran. Menurut Centers for Diseases Control and Prevention (CDC) Amerika, paling tidak terdapat bakteria pada vagina atau rektum pada satu dari setiap lima wanita hamil, yang dapat mengkontaminasi bayi selama melahirkan. Bayi prematur yang menjalani perawatan intensif rentan terhadap sepsis karena sistem imun mereka yang belum berkembang dan mereka biasanya menjalani prosedur-prosedur invasif seperti infus jangka panjang, pemasangan sejumlah kateter, dan bernafas melalui selang yang dihubungkan dengan ventilator. Organisme yang normalnya hidup di permukaan kulit dapat masuk ke dalam tubuh kemudian ke dalam aliran darah melalui alat-alat seperti yang telah disebut di atas.

Bayi berusia 3 bulan sampai 3 tahun beresiko mengalami bakteriemia tersamar, yang bila tidak segera dirawat, kadang-kadang dapat megarah ke sepsis. Bakteriemia tersamar artinya bahwa bakteria telah memasuki aliran darah, tapi tidak ada sumber infeksi yang jelas. Tanda paling umum terjadinya bakteriemia tersamar adalah demam. Hampir satu per tiga dari semua bayi pada rentang usia ini mengalami demam tanpa adanya alasan yang jelas - dan penelitian menunjukkan bahwa 4% dari mereka akhirnya akan mengalami infeksi bakterial di dalam darah. Streptococcus pneumoniae (pneumococcus) menyebabkan sekitar 85% dari semua kasus bakteriemia tersamar pada bayi berusia 3 bulan sampai 3 tahun

1.3 PATOFISIOLOGI

Sepsis dimulai dengan invasi bakteri dan kontaminasi sistemik. Pelepasan endotoksin oleh bakteri menyebabkan perubahan fungsi miokardium, perubahan ambilan dan penggunaan oksigen, terhambatnya fungsi mitokondria, dan kekacauan metabolik yang progresif. Pada sepsis yang tiba-tiba dan berat, complment cascade menimbulkan banyak kematian dan kerusakan sel. Akibatnya adalah penurunan perfusi jaringan, asidosis metabolik, dan syok, yang mengakibatkan disseminated intravaskuler coagulation (DIC) dan kematian (Bobak, 2005).Bayi baru lahir mendapat infeksi melalui beberapa jalan, dapat terjadi infeksi transplasental seperti pada infeksi konginetal virus rubella, protozoa Toxoplasma, atau basilus Listeria monocytogenesis. Yang lebih umum, infeksi didapatkan melalui jalur vertikel, dari ibu selam proses persalinan ( infeksi Streptokokus group B atau infeksi kuman gram negatif ) atau secara horizontal dari lingkungan atau perawatan setelah persalinan ( infeksi Stafilokokus koagulase positif atau negatif).

Faktor- factor yang mempengaruhi kemungkinan infeksi secara umum berasal dari tiga kelompok, yaitu :

1. Faktor maternal

a. Status sosial-ekonomi ibu, ras, dan latar belakang. Mempengaruhi kecenderungan terjadinya infeksi dengan alasan yang tidak diketahui sepenuhnya. Ibu yang berstatus sosio- ekonomi rendah mungkin nutrisinya buruk dan tempat tinggalnya padat dan tidak higienis. Bayi kulit hitam lebih banyak mengalami infeksi dari pada bayi berkulit putih.

b. Status paritas (wanita multipara atau gravida lebih dari 3) dan umur ibu (kurang dari 20 tahun atua lebih dari 30 tahun)

c. Kurangnya perawatan prenatal.

d. Ketuban pecah dini (KPD)

e. Prosedur selama persalinan.

2. Faktor Neonatal

a. Prematurius ( berat badan bayi kurang dari 1500 gram), merupakan faktor resiko utama untuk sepsis neonatal. Umumnya imunitas bayi kurang bulan lebih rendah dari pada bayi cukup bulan. Transpor imunuglobulin melalui plasenta terutama terjadi pada paruh terakhir trimester ketiga. Setelah lahir, konsentrasi imunoglobulin serum terus menurun, menyebabkan hipigamaglobulinemia berat. Imaturitas kulit juga melemahkan pertahanan kulit.

b. Defisiensi imun. Neonatus bisa mengalami kekurangan IgG spesifik, khususnya terhadap streptokokus atau Haemophilus influenza. IgG dan IgA tidak melewati plasenta dan hampir tidak terdeteksi dalam darah tali pusat. Dengan adanya hal tersebut, aktifitas lintasan komplemen terlambat, dan C3 serta faktor B tidak diproduksi sebagai respon terhadap lipopolisakarida. Kombinasi antara defisiensi imun dan penurunan antibodi total dan spesifik, bersama dengan penurunan fibronektin, menyebabkan sebagian besar penurunan aktivitas opsonisasi.

c. Laki-laki dan kehamilan kembar. Insidens sepsis pada bayi laki- laki empat kali lebih besar dari pada bayi perempuan.

3. Faktor lingkungan

a. Pada defisiensi imun bayi cenderung mudah sakit sehingga sering memerlukan prosedur invasif, dan memerlukan waktu perawatan di rumah sakit lebih lama. Penggunaan kateter vena/ arteri maupun kateter nutrisi parenteral merupakan tempat masuk bagi mikroorganisme pada kulit yang luka. Bayi juga mungkin terinfeksi akibat alat yang terkontaminasi.

b. Paparan terhadap obat-obat tertentu, seperti steroid, bis menimbulkan resiko pada neonatus yang melebihi resiko penggunaan antibiotik spektrum luas, sehingga menyebabkan kolonisasi spektrum luas, sehingga menyebabkan resisten berlipat ganda.

c. Kadang- kadang di ruang perawatan terhadap epidemi penyebaran mikroorganisme yang berasal dari petugas ( infeksi nosokomial), paling sering akibat kontak tangan.

d. Pada bayi yang minum ASI, spesies Lactbacillus dan E.colli ditemukan dalam tinjanya, sedangkan bayi yang minum susu formula hanya didominasi oleh E.colli.

Mikroorganisme atau kuman penyebab infeksi dapat mencapai neonatus melalui beberapa cara, yaitu :

1. Pada masa antenatal atau sebelum lahir. Pada masa antenatal kuman dari ibu setelah melewati plasenta dan umbilikus masuk dalam tubuh bayi melalui sirkulasi darah janin. Kuman penyebab infeksi adalah kuman yang dapat menembus plasenta antara lain virus rubella, herpes, sitomegalo, koksaki, hepatitis, influenza, parotitis. Bakteri yang dapat melalui jalur ini, antara lain malaria, sipilis, dan toksoplasma.

2. Pada masa intranatal atau saat persalinan. Infeksi saat persalinan terjadi karena yang ada pada vagina dan serviks naik mencapai korion dan amnion. Akibatnya, terjadi amniotis dan korionitis, selanjutnya kuman melalui umbilikus masuk dalam tubuh bayi. Cara lain, yaitu saat persalinan, cairan amnion yang sudah terinfeksi akan terinhalasi oleh bayi dan masuk dan masuk ke traktus digestivus dan traktus respiratorius, kemudian menyebabkan infeksi pada lokasi tersebut. Selain cara tersebut di atas infeksi pada janin dapat terjadi melalui kulit bayi atau port de entre lain saat bayi melewati jalan lahir yang terkontaminasi oleh kuman. Beberapa kuman yang melalui jalan lahir ini adalah Herpes genetalis, Candida albican,dan N.gonorrea.

3. Infeksi paska atau sesudah persalinan. Infeksi yang terjadi sesudah kelahiran umumnya terjadi akibat infeksi nosokomial dari lingkungan di luar rahim (misal melalui alat- alat : penghisap lendir, selang endotrakhea, infus, selang nasogastrik, botol minuman atau dot). Perawat atau profesi lain yang ikut menangani bayi dapat menyebabkan terjadinya infeksi nosokomil. Infeksi juga dapat terjadi melalui luka umbilikus (AsriningS.,2003)


1.4 MANIFESTASI KLINIK

Menurut Arief, 2008, manifestasi klinis dari sepsis neonatorum adalah sebagai berikut,

1. Umum : panas (hipertermi), malas minum, letargi, sklerema

2. Saluran cerna: distensi abdomen, anoreksia, muntah, diare, hepatomegali

3. Saluran nafas: apnoe, dispnue, takipnu, retraksi, nafas cuping hidung, merintih, sianosis

4. Sistem kardiovaskuler: pucat, sianosis, kulit lembab, hipotensi, takikardi, bradikardi

5. Sistem syaraf pusat: iritabilitas, tremor, kejang, hiporefleksi, malas minum, pernapasan tidak teratur, ubun-ubun membonjol

6. Hematologi: Ikterus, splenomegali, pucat, petekie, purpura, perdarahan.

Gejala sepsis yang terjadi pada neonatus antara lain bayi tampak lesu, tidak kuat menghisap, denyut jantungnya lambat dan suhu tubuhnya turun-naik. Gejala-gejala lainnya dapat berupa gangguan pernafasan, kejang, jaundice, muntah, diare, dan perut kembung

Gejala dari sepsis neonatorum juga tergantung kepada sumber infeksi dan penyebarannya:

a. Infeksi pada tali pusar (omfalitis) menyebabkan keluarnya nanah atau darah dari pusar

b. Infeksi pada selaput otak (meningitis) atau abses otak menyebabkan koma, kejang, opistotonus (posisi tubuh melengkung ke depan) atau penonjolan pada ubun-ubun

c. Infeksi pada tulang (osteomielitis) menyebabkan terbatasnya pergerakan pada lengan atau tungkai yang terkena

d. Infeksi pada persendian menyebabkan pembengkakan, kemerahan, nyeri tekan dan sendi yang terkena teraba hangat

e. Infeksi pada selaput perut (peritonitis) menyebabkan pembengkakan perut dan diare berdarah.


1.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pertanda diagnostik yang ideal memiliki kriteria yaitu nilai cut off tepat yang optimal, nilai diag­nostik yang baik yaitu sesitivitas mendekati 100%, spesifisitas lebih dari 85%, Positive Probable Value (PPV) lebih dari 85%, Negative Probable Value (NPV) mendekati 100%, dan dapat mendeteksi infeksi pada tahap awal. Kegunaan klinis dari pertanda diagnostik yang ideal adalah untuk membedakan antara infeksi bakteri dan virus, petunjuk untuk penggunaan antibiotik, memantau kemajuan pengobatan, dan untuk menentukan prognosis.

Pertanda hematologik yang digunakan adalah hitung sel darah putih total, hitung neutrofil, neu­trofil imatur, rasio neutrofil imatur dengan neutrofil total (I:T), mikro Erytrocyte Sedimentation Rate (ESR), dan hitung trombosit. Tes laboratorium yang dikerjakan adalah CRP, prokalsitonin, sitokin IL-6, GCSF, tes cepat (rapid test) untuk deteksi antigen, dan panel skrining sepsis. Saat ini, kombinasi petanda terbaik untuk mendiagnosis sepsis adalah sebagai berikut: IL6, dan IL1-ra untuk 1-2 hari setelah munculnya gejala; IL6 (atau IL1-ra 0, IL8, G-CSF, TNF, CRP, dan hematological indices pada hari ke-0); CRP, IL6 (atau GCSF dan hematological indices pada hari ke-1); dan CRP pada hari-hari berikutnya untuk memonitor respons terhadap terapi. Tabel 3 menjelaskan sensitivitas dan spesifisitas dari berbagai uji laboratorium.


1.6 PENATALAKSANAAN

1. Diberikan kombinasi antibiotika golongan Ampisilin dosis 200 mg/kg BB/24 jam i.v (dibagi 2 dosis untuk neonatus umur <> 7 hari dibagi 3 dosis), dan Netylmycin (Amino glikosida) dosis 7 1/2 mg/kg BB/per hari i.m/i.v dibagi 2 dosis (hati-hati penggunaan Netylmycin dan Aminoglikosida yang lain bila diberikan i.v harus diencerkan dan waktu pemberian ½ sampai 1 jam pelan-pelan).

2. Dilakukan septic work up sebelum antibiotika diberikan (darah lengkap, urine, lengkap, feses lengkap, kultur darah, cairan serebrospinal, urine dan feses (atas indikasi), pungsi lumbal dengan analisa cairan serebrospinal (jumlah sel, kimia, pengecatan Gram), foto polos dada, pemeriksaan CRP kuantitatif).

3. Pemeriksaan lain tergantung indikasi seperti pemeriksaan bilirubin, gula darah, analisa gas darah, foto abdomen, USG kepala dan lain-lain.

4. Apabila gejala klinik dan pemeriksaan ulang tidak menunjukkan infeksi, pemeriksaan darah dan CRP normal, dan kultur darah negatif maka antibiotika diberhentikan pada hari ke-7.

5. Apabila gejala klinik memburuk dan atau hasil laboratorium menyokong infeksi, CRP tetap abnormal, maka diberikan Cefepim 100 mg/kg/hari diberikan 2 dosis atau Meropenem dengan dosis 30-40 mg/kg BB/per hari i.v dan Amikasin dengan dosis 15 mg/kg BB/per hari i.v i.m (atas indikasi khusus). Pemberian antibiotika diteruskan sesuai dengan tes kepekaannya. Lama pemberian antibiotika 10-14 hari. Pada kasus meningitis pemberian antibiotika minimal 21 hari.

6. Pengobatan suportif meliputi : Termoregulasi, terapi oksigen/ventilasi mekanik, terapi syok, koreksi metabolik asidosis, terapi hipoglikemi/hiperglikemi, transfusi darah, plasma, trombosit, terapi kejang, transfusi tukar.


BAB 2
ASUHAN KEPERAWATAN

2.1 PENGKAJIAN
(gunakan format pengkajian neonatus)

2.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN
  1. Hipertermia berhubungan dengan kerusakan control suhu sekunder akibat infeksi atau inflamasi
  2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan sekunder akibat demam
  3. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan volume bersirkulasi akibat dehidrasi
  4. PK: Trombositopenia
NB : diagnosa risti infeksi tidak digunakan karena klien telah mengalami sepsis.

2.3 INTERVENSI DAN RASIONAL
  1. Hipertermia berhubungan dengan kerusakan control suhu sekunder akibat infeksi atau inflamasi

a. Kriteria Hasil

1. Suhu tubuh berada dalam batas normal (Suhu normal 36,5o-37o C)

2. Nadi dan frekwensi napas dalam batas normal (Nadi neonatus normal 100-180 x/menit, frekwensi napas neonatus normal 30-60x/menit)

b. Intervensi dan Rasional

INTERVENSI

RASIONAL

1. Monitoring tanda-tanda vital setiap dua jam dan pantau warna kulit

Perubahan tanda-tanda vital yang signifikan akan mempengaruhi proses regulasi ataupun metabolisme dalam tubuh.

2. Observasi adanya kejang dan dehidrasi

Hipertermi sangat potensial untuk menyebabkan kejang yang akan semakin memperburuk kondisi pasien serta dapat menyebabkan pasien kehilangan banyak cairan secara evaporasi yang tidak diketahui jumlahnya dan dapat menyebabkan pasien masuk ke dalam kondisi dehidrasi.

3. Berikan kompres denga air hangat pada aksila, leher dan lipatan paha, hindari penggunaan alcohol untuk kompres.

Kompres pada aksila, leher dan lipatan paha terdapat pembuluh-pembuluh dasar besar yang akan membantu menurunkan demam. Penggunaan alcohol tidak dilakukan karena akan menyebabkan penurunan dan peningkatan panas secara drastis.

Kolaborasi

4. Berikan antipiretik sesuai kebutuhan jika panas tidak turun.

Pemberian antipiretik juga diperlukan untuk menurunkan panas dengan segera

2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan sekunder akibat demam

a. Kriteria Hasil

1. Suhu tubuh berada dalam batas normal (Suhu normal 36,5o-37o C)

2. Nadi dan frekwensi napas dalam batas normal (Nadi neonatus normal 100-180 x/menit, frekwensi napas neonatus normal 30-60x/menit)

3. Bayi mau menghabiskan ASI/PASI 25 ml/6 jam

b. Intervensi dan Rasional

INTERVENSI

RASIONAL

1. Monitoring tanda-tanda vital setiap dua jam dan pantau warna kulit

Perubahan tanda-tanda vital yang signifikan akan mempengaruhi proses regulasi ataupun metabolisme dalam tubuh.

2. Observasi adanya hipertermi, kejang dan dehidrasi.

Hipertermi sangat potensial untuk menyebabkan kejang yang akan semakin memperburuk kondisi pasien serta dapat menyebabkan pasien kehilangan banyak cairan secara evaporasi yang tidak diketahui jumlahnya dan dapat menyebabkan pasien masuk ke dalam kondisi dehidrasi.

3. Berikan kompres hangat jika terjadi hipertermi, dan pertimbangkan untuk langkah kolaborasi dengan memberikan antipiretik.

Kompres air hangat lebih cocok digunakan pada anak dibawah usia 1 tahun, untuk menjaga tubuh agar tidak terjadi hipotermi secara tiba-tiba. Hipertermi yang terlalu lama tidak baik untuk tubuh bayi oleh karena itu pemberian antipiretik diperlukan untuk segera menurunkan panas, misal dengan asetaminofen.

4. Berikan ASI/PASI sesuai jadwal dengan jumlah pemberian yang telah ditentukan

Pemberian ASI/PASI sesuai jadwal diperlukan untuk mencegah bayi dari kondisi lapar dan haus yang berlebih.


3. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan volume bersirkulasi akibat dehidrasi

a. Kriteria Hasil

1. Tercapai keseimbangan ai dalam suang interselular dan ekstraselular

2. Keadekuatan kontraksi otot untuk pergerakan

3. Tingkat pengaliran darah melalui pembuluh kecil ekstermitas dan memelihara fungsi jaringan

b. Intervensi dan Rasional

INTERVENSI

RASIONAL

1. perawatan sirkulasi (misalnya periksa nadi perifer,edema, pengisian perifer, warna, dan suhu ekstremitas)

1. meningkatkan sirkulasi arteri dan vena

2. pantau perbedaan ketajaman/tumpul dan panas/dingin

2. mengetahui sensasi perifer, kemungkinan parestesia

3. pantau status cairan

3. mengetahui keseimbangan antara asupan dan haluaran


4. PK: Trombositopenia

a. Tujuan

Perawat akan menangandi dan mengurangi komplikasi penurunan trombosit.

b. Intervensi dan Rasional

INTERVENSI

RASIONAL

1. Pantau JDL, hemoglobin, tes koagulasi dan jumlah trombosit

Nilai ini membantu mengevaluasi respon klien terhadap pengobatan dan resiko terhadap pendarahan akibat dari sepsis.

2. Pantau tanda tau gejala pendarahan spontan atau perdarahan hebat : ptekie, ekimosis, hematoma spontan, perubahan tanda-tanda vital.

Pemantauan secara konstan sangat dibutuhkan untuk menjamin deteksi dini adanya episode perdarahan

3. Pantau tanda perdarahan sisemik atau hipovolemia, seperti peningkatan frekuensi nadi, napas dan tekanan darah, perubahan status neurologis

Perubahan pada oksigen sirkulasi akan mempengaruhi fungsi jantung, vascular dan fungsi neurologis


BAB 3
DAFTAR PUSTAKA


DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2007. Sepsis. Akses internet di http://www.pediatrik.com/ilmiah_popular/20060220-1uyr3qilmiahpopular.doc

Berkow & Beers. 1997. Neonatal Problems : Sepsis Neonatorum. Akses internet di http://debussy.hon.ch/cgi-bin/find?1+submit+sepsis_neonatorum

Carpenito, LJ. 2000. Diagnosa Keperawatan, Aplikasi pada Praktek Klinis, Edisi 6. Jakarta : EGC.

Doengoes, dkk. 1999 .Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3. Jakarta :EGC

Harianto, Agus. 2008. Sepsis Neonatorum. Akses internet di http://www.pediatrik.com/artikel/sepsis-neonatorium

Novriani, Erni. 2008. Sepsis Neonatorum. Akses Internet di http://cemolgadis-melayu.blogspot.com/2008/12/kepanak-sepsis.html

Nurcahyo. 2000. Sepsis Neonatorum. Akses internet di http://www.indonesiaindonesia.com/images_greenish/misc/navbits_finallink.gif

Prawirohardjo, Sarwono. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Bina Pustaka

Prawirohardjo, Sarwono. 2007. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal. Jakarta : Bina Pustaka

Vietha. 2008. Askep pada Sepsi Neonatorum. Akses internet di http://viethanurse.wordpress.com/2008/12/01/askep-pada-sepsis-neonatorum/






ditulis oleh Indri DPL, dalam kelompok 5A Maternitas.